Pohon Kemenyan (Haminjon dalam bahasa Batak) di Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara.
Kemenyan atau Haminjon dalam bahasa Batak (Styrax Sumatrana) sudah lama diperdagangkan di Tapanuli Utara dan lingkar Toba, bahkan kemenyan asal Tapanuli ini sampai dikait-kaitkan dengan kelahiran Yesus Christ 2000 tahun yl, di mana disebutkan ada orang Majus yang datang membawa Mur dan Kemenyan untuk menyambut kedatangan sang Messias. Dan Kemenyan dimaksud konon berasal dari Tapanuli yang diperdagangkan antar benua hingga ke Timur Tengah (tanah Kana’an) melalui pelabuhan Barus (Sibolga sekarang) ribuan tahun yl.
Kemenyan adalah salah satu komoditas resin (getah), dengan penggunaan luas. Salah satunya yang paling penting adalah sebagai fixative (pengikat) dalam industri parfum. Kemenyan tak ada hubungannya dgn hal gaib, klenik, takhyul dan lain-lain, meski residu dari produk ini digunakan untuk bahan baku dupa dan sebangsanya.
Di pasar internasional, kemenyan dikenal dengan nama Benzoin resin. Komoditas ini berupa getah kering dari beberapa pohon genus Styrax. Di antaranya, yang paling banyak diperdagangkan adalah getah pohon Styrax Tonkinensis (Siam Benzoin), Styrax Benzoin dan Styrax Sumatrana (Sumatera Benzoin).
Sosok kemenyan, hampir sama dengan resin lainnya seperti Gondorukem (getah Pinus merkusii) dan Damar (getah Shorea Javanica). Bedanya, gondorukem berwarna kecokelatan dan lengket, damar berwarna kuning keputihan dan reman. Kemenyan berupa gumpalan padat dan keras, putih dengan sebagian bening transparan.
Pohon kemenyan, baik Styrax Benzoine maupun Styrax Sumatrana, mampu hidup lebih dari 100 tahun. Hingga sekali tanam, paling sedikit pohon kemenyan akan terus berproduksi selama sekitar 90 tahun. Ini lebih menguntungkan dibanding dengan Pinus Merkusii yang sudah harus diremajakan dalam jangka waktu kurang dari 50 tahun setelah tanam.
Kemenyan Super atau “Mata Zamzam” (Sidukabi) asal Pangaribuan, Tapanuli Utara
Menyadap pohon kemenyan sama dengan menyadap pinus maupun damar. Bedanya, menyadap kemenyan tidak memerlukan wadah sebagai penampung getah. Resin yang keluar dari luka “ditugi” (ditoreh dgn alat yg disebut Penugi) pada kulit batang, harus dibiarkan meleleh dan tetap melekat di kulit batang tersebut. Pada perlukaan pertama, kulit batang akan mengeluarkan resin putih. Resin pertama ini baru bisa diambil sekitar tiga bulan setelah perlukaan dan disebut Sidukabi atau Mata Zamzam.
Meski Tapanuli Utara dan kawasan lingkar Toba adalah daerah produsen utama Kemenyan, perputaran komoditas hebat ini pada kenyataannya sudah sejak lama berpusat di Gombong Jawa Tengah. Sebuah kota kecil di wilayah Purwokerto (dulu Banyumas), tak begitu jauh dari pelabuhan Cilacap. Di tingkat pengumpul di Tapanuli Utara harga kemenyan Mata Zamzam misalnya Rp 100.000 per kg, sedangkan abu (residu terendah dari hasil penyortiran di tingkat perambah) hanya Rp 3.000 per kg. Ini pun fluktuatif sekali, karena posisi tawar di tingkat produsen di Tapanuli Utara dan lingkar Toba sangat rendah sehubungan ketergantungan tunggal mereka selama puluhan tahun terhadap pasar ologipoli kemenyan di Gombong.
Badia Silitonga (54 thn) saudagar kemenyan asal Pangaribuan Tapanuli Utara dan Ayong saudagar kemenyan asal Tarutung Tapanuli Utara misalnya mempunyai gudang sekaligus tempat pencetakan kemenyan menjadi batangan-batangan berukuran 10-15 kg di Gombong. Tapi saudagar-saudagar asal Tapanuli Utara dan lingkar Toba seperti Badia dan Ayong hanya sebatas mencetak seperti itu saja. Komoditas ini pada akhirnya jatuh ke tangan “the Invisible Exportir” yg menjual batangan-batangan hasil pabrikasi sederhana ini ke Singapore. Dan di Singapore-lah komoditas ini disuling untuk dijadikan bahan baku kosmetik yang selanjutnya diekspor ke US, Eropa dan Jepang. Asal tau setelah diinovasi di Singapore harga per Kg untuk ekspor konon mencapai Rp 2-3 juta per kg.
Betapa beruntungnya negara asing seperti Singapore dari Kemenyan/Haminjon Tapanuli? Maka jangan lagi kita biarkan Kemenyan/Haminjon Tapanuli disuling di luar negeri. Kita harus berani mandiri menyulingnya sendiri dengan tenaga-tenaga akhli Indonesia? Dan bagi kepentingan petani kemenyan di Tapanuli Utara dan Lingkar Toba, pusat niaga kemenyan ini seyogyanya segera dipindahkan ke bumi tapanuli sendiri seperti Tarutung dan Balige dalam rangka efisiensi untuk memperpendek rantai niaga kemenyan tentu? Ini semuanya adalah PR kita bersama dalam rangka melindungi kepentingan petani kemenyan/haminjon itu sendiri serta menginovasi bahan mentah dari dunia agro kita menjadi bahan baku industri yang bermutu dan mempunyai nilai jual tinggi.
Malang City, Sept’ 08, 2010.
Posting Komentar
Berikan komentar anda di halaman ini. Terimakasih ..