WELCOME

SELAMAT DATANG - HORAS

Pembaca dapat mengambil isi blog secara bebas dengan syarat menyertakan URL blog : http://parlinpakpahan.blogspot.com.

free counters
Madonna "Like a Virgin" cover by Veronica Romeo


veronicaromeooficial | September 05, 2010

Like a Virgin is the second studio album by American recording artist Madonna, released on November 12, 1984 by Sire Records. It was re-released worldwide in 1985, with the bonus track "Into the Groove". In 2001, Warner Bros. released a remastered version with two bonus remix tracks. After the release and the success of her self-titled debut album, Madonna wanted to solidify her future in the music business, by building on the success of the first album. However, she decided to become one of the record producers, feeling the need to control the various aspects of her music. Nile Rodgers was chosen as the primary producer of the album, due to his work with David Bowie.

The album was recorded at Power Station Studio in New York at a quick pace. Rodgers assisted the help of his former Chic band mates Bernard Edwards, who was the bassist, and Tony Thompson, who played drums; they appeared on several tracks of the album. Rodgers decided to be the guitarist, when Edwards requested him to do so, in exchange of their help. Jason Corsaro, the record's audio engineer, persuaded Rodgers to use digital recording, a new technique at the time which Corsaro believed was going to be the future of recording because test pressings always sounded consistent. Madonna was always present during the recordings, and believed that the songs on the album were stronger, compared to her debut album. The cover sleeve and images were shot by Steven Meisel. Madonna wanted the album title and the cover image to make provocative link between her own religious name Madonna, as the Roman Catholic title for Jesus' mother Mary, and the Christian concept of the virgin birth.

Like a Virgin is not that much of a musical departure from the first album, but the material is stronger. Along with Rodgers, Madonna also collaborated with her former boyfriend Steve Bray, who co-produced majority of the songs on the album. Consisting of dance-pop oriented music, the songs also incorporated synthpop and New Wave music. After its release, Like a Virgin received mixed reviews from the critics, but was a commercial success. It became Madonna's first number one album on the Billboard 200, while reaching the top of the album charts in Germany, Italy, Netherlands, New Zealand, Spain and the United Kingdom. The Recording Industry Association of America (RIAA) certified it diamond, for shipment of ten million copies across the United States. Worldwide it has sold 21 million copies, becoming one of the best-selling albums of all time.

Five singles were released from the album, with the title track and "Material Girl" becoming worldwide hits and "Into the Groove" becoming her first number-one single in the United Kingdom. To promote Like a Virgin, Madonna embarked on her first concert tour—The Virgin Tour—which travelled in cities of North America only. Like a Virgin has attained significance as a cultural artifact of the Eighties. Madonna proved that she was not a one-hit wonder and was able to establish herself as a musical force to be reckoned with. Her songs became a lightning rod for both criticism by conservatives and imitation by the younger female population, especially "Material Girl" and "Like a Virgin". According to author J. Randy Taraborrelli, "Every important artist has at least one album in his or her career whose critical and commercial success becomes the artist's magic moment; for Madonna, Like a Virgin was just such a defining moment".
MODEL REKRUTMEN TRANSAKSIONAL DALAM SISTEM BIROKRASI INDONESIA
Presiden tengah melantik Menkeu pengganti Sri Mulyani
Dalam sistem politik & sistem birokrasi prosedural di negeri ini, person yg berkinerja tinggi & loyal terhadap tugas bisa saja setiap saat didegradasi karena pertimbangan transaksional (jualbeli jabatan) & pertimbangan subyektif lainnya yg secara terselubung menolak keharusan penerapan merit sistem dalam proses rekrutmen birokrat. Bagi mereka model rekrutmen yg fair & obyektif adalah merugikan. Tak ada keuntungan yg bisa dipetik dari model tersebut.

Sistem transaksional seperti ini sudah menjadi rutinitas utama dalam birokrasi Indonesia. Pembusukan birokrasi pun tak terhindarkan lagi. Hukum tak berdaya, lantaran para penguasa itu sendirilah melalui onderbouwnya yang memelintir hukum menjadi karet mainan dalam sistem hukum nasional. Lihat kasus Susno Duaji misalnya.



4 birokrat utama musuh rakyat

Model rekrutmen transaksional telah mengganjal karier putera-putera terbaik bangsa selama puluhan tahun terakhir ini di Indonesia.

Bagi putera2 terbaik bangsa yg terdegradasi dengan model rekrutmen seperti ini, maka sia-sialah sudah semua Jasa & Pengorbanan yg telah mereka berikan selama belasan bahkan puluhan tahun dinas di suatu unit birokrasi tertentu.

Dan model rekrutmen seperti ini dalam proses selanjutnya hanya menghasilkan pejabat-pejabat yg produktif melulu untuk diri dan kelompoknya saja dan samasekali tak produktif untuk Public.

Mereka yg jahat dan tekebur atas nama jabatan politis sebagai Walikota, Bupati, Gubernur bahkan Presiden telah menutup matahatinya betapa dengan tersingkirnya putera-putera terbaik bangsa dari pentas pemerintahan maka konsekuensinya KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme) yang sudah akut itu semakin kebal terhadap aspirasi perubahan untuk kemajuan bangsa.

Fit and Proper Test pernah memang digembargemborkan di awal reformasi. Tapi kenyataannya uji kelayakan tersebut adalah transaksi politik dalam bentuk lain. Tak ada pun Visi, Prestasi & Jiwa Kerakyatan dari para calon yang diuji disitu. So what?

Kalau model rekrutmen transaksional seperti ini terus dipertahankan dalam sistem nasional Indonesia, maka tak bisa lagi dihempang bahwa negeri ini akan semakin miskin dan akhirnya tenggelam, karena tak ada lagi Parhobas (Pelayan) yg benar2 melayani rakyat. Yang ada hanyalah birokrat-birokrat tak bervisi dan tak berjiwa yg bekerja hanya untuk melayani Daulat Tuanku dan bukan untuk melayani rakyat.

Medan, 02 Okt’ 2010



Tumpukan Uang yang menggiurkan

mobil mewah menteri yg dipersoalkan


koruptor buronan kejaksaan agung
TUTUP TPL (TOBA PULP LESTARI).
From Google ..
SUDAH BEBERAPA TAHUN TERAKHIR INI KITA MENDENGAR YEL : TUTUP TPL (TOBA PULP LESTARI).

Tapi itulah, lamakelamaan suara itu semakin meredup dimakan waktu. Bahkan ada sejumlah kalangan konservatif di Tobasa, Tapanuli Utara, Samosir dan Humbahas menyindir tajam bahwa yel seperti itu tak perlu lagi. Mengapa? Mereka balik bertanya apa yg salah dengan TPL? Begini, Tano Batak memang perlu modal tapi tak perlu Imperialisme Bubur Kertas & Kapitalisme Global. Kalau mau dgn semua isi perut bumi, top soil dan perairan yg ada di lingkar tapanuli dan lingkar toba, rakyat di wilayah ini bisa sejahtera koq tanpa perlu modal raksasa atas nama Kapitalisme Global. Asal tau saja, TPL adalah seringai Imperialisme bubur kertas itu sendiri. Tanah-tanah komunal rakyat yg mereka rampas atas dasar konsesi HPH yg diberikan pusat kepada mereka seluas 265.000 Ha di lingkarTapanuli Utara dan lingkar Toba mana ada cerita kembali lagi ke para pewarisnya yg sah. Acem mana nya??

Celakanya, kita terus2an terperdaya money politics dlm setiap pilkada (TPL pun turut bermain disitu), maka makanlah Batu itu, karena kita pun akan terusmenerus dipimpin oleh Bupati2 kelas sayur seperti yg skrg berjejer persis di depan hidung kita. Mereka para Bupati kelas sayur itu tak bakal mampu menjalankan misi welfare states di wilayah ini sekalipun SDAnya berkecukupan. Apalagi mengenyahkan TPL dari bumi Tapanuli. Namanya juga Bupati tersumpal hepeng recehan. Coba, utk wilayah seluas Sumut pun kita ternyata hanya mampu memilih Samsul Arifin seorang pelawak (dan si roa balang lagi) menjadi Gubsu. Utk rakyat Sumut, makanlah Belatung itu sekarang.

Asal tau juga, Master dari semua perubahan yg kita inginkan itu kuncinya adalah Pemimpin dan Kepemimpinan Daerah yg berkemampuan menjalankan misi welfare states di daerah. Dia harus benar2 prajurit komando yg bisa menyusup chantique ke wilayah lawan dan mampu membunuh target yg telah direncanakan disitu.

From Google ..
Banyak memang yg memproklamirkan dirinya sebagai pejuang, mulai dari Muchtar Pakpahan, APTB (Aliansi Peduli Tano Batak), KSPPM, Lira, Lem Perak dst dst merangsek maju untuk sebuah gerakan TUTUP TPL. Tapi yg terjadi kemudian TPL tetap berkibar dan manajer2 TPL malah menyanyikan lagu Ayam den Lape dengan santainya. Bahkan kurangajarnya lagi mereka membaca puisi Sitor Situmorang setiap tahun di acara PDT (Pesta Danau Toba) di Parapat seraya bersuara lantang bahwa mereka telah berbuat banyak untuk tanah batak? Mana dan mana hasil dari semua gerakan perjuangan Tutup TPL itu? Nehi ...

Lantas kalau terus2an Status Quo seperti skrg? Saya kira sudah saatnya para pemuda militan di Tapanuli digalang menjadi BARISAN PEMUKUL. Cukup 1000 orang saja. Persenjatai mereka dgn Gada Pemukul yg panjangnya 1,5 meter (2 kali panjang standar alat pemukul versi satuan anti huruhara Polri). Dan gada pemukul itu harus terbuat dari Kayu Besi Papua (sekali lagi Kayu Besi Papua). Kemudian Test, ke-1000 gada kayu besi itu dipukulkan serempak ke kaleng kosong Khong Guan. Apa yg terjadi? Efek Gentar tentu. Percayalah, TPL langsung pingsan mendengar suara gemuruh seperti itu, sehingga tak susah bagi kita utk menghalau mereka hidup2 secara massal tentu dari bumi Tapanuli.

Ini hanya meminjam salah satu trick yg biasa digunakan oleh alm Pak Harto dlm menjalankan operasi intelijen utk menakutnakuti rakyat di masa lalu. Mereka biasa menggunakan org lain spt halnya FPI dan sebangsanya skrg.

Well .. Well .. Well .. Dalam rangka mengubah Status Quo Terkutuk yg skrg ada di tano batak, Siapa 1000 pemuda kita yg siap utk menjadi prajurit rakyat yg militan seperti itu? Ayooo ..


From Google ..
“Better to die standing, than to live on your knees.” - Ernesto "Che Guevara

Lingkar Toba, 02 Okt' 2010

Iklan - Addsense