WELCOME
Pembaca dapat mengambil isi blog secara bebas dengan syarat menyertakan URL blog : http://parlinpakpahan.blogspot.com.
Diluar dugaan ternyata di Afghanistan tumbuh begitu suburnya Marijuana (Sativa Cannabis) alias Ganja atau Cimeng dalam bahasa jalanan anak-anak Indonesia di samping OPIUM yang sudah lama kesohor sebagai Opium Kelas Satu Dunia.
Pantas saja Warlord di Afghanistan sangat membenci tentera pendudukan NATO yang membatasi usaha mereka berdagang Opium dan Marijuana. Dan pantas juga apabila mereka gampang bersekutu diam-diam dengan gerilyawan Taliban dalam memerangi Nato di bumi Afghanistan.
Lalu bagaimana dengan Perganjaan dan/atau Percimengan di Bumi Rencong Aceh?? Sebagaimana diketahui Ganja Aceh juga termasuk salah satu yang terbaik di dunia, Tak heran daerah penghasil ganja terbaik ini erat korelasinya dengan para bandit narkoba di tanah air. Maka Ladang Ganja di Aceh pun
bolak-balik dibakar habis aparat, tapi ladang ganja itu bolak-balik juga hadir everywhere di Bumi Rencong Aceh.
Bagaimana pula Ladang Kokain di Colombia dan Mexico?? Pablo Escobar sang Raja Kokain Amerika Latin boleh saja terbunuh, tapi pada kenyataannya selalu hadir Escobar-Escobar baru di ladang-ladang kokain Amerika Latin.
Pada akhirnya semuanya itu berpulang kepada pemerintah setempat. Kalau memang bijaksana, sebaiknya diatur saja. Dengan cara kucing-kucingan seperti itu, maka pemerintah ybs hanya memperkaya bandit-bandit narkoba nasional maupun internasional saja. Satu hal terpenting yang patut digarisbawahi adalah Marijuana, Opium dan Kokain itu pada kenyataannya adalah tanaman medik bernilai ekonomi tinggi. Maka, sebaiknya diatur saja secara tersendiri dalam sebuah PP (Peraturan Pemerintah), karena toh intinya tanaman itu seharusnya adalah untuk kepentingan medik (bahan baku pembuat Heroine). Karenanya agar tidak melenceng dari kepentingan medik internasional, maka atur dan awasilah perkebunan semacam itu secara ketat dan terkendali ketimbang kucing-kucingan terus sepanjang masa dengan para petani dan bandit narkoba. Dengan pengaturan yang bijaksana dan terkendali, maka negara pun akan mendapat keuntungan berupa Devisa yang sangat hebat di samping para petani marijuana kita pun bisa kaya tentu dan bukannya dikejar-kejar dengan laras senjata aparat. Mengapa tidak? Coba saja hitung berapa pendapatan para bandit narkoba sekelas Pablo Escobar dalam 1 tahun misalnya? Fantastis kawan. Coba, rumah Escobar saja terbuat dari Emas Murni.
Nah tunggu apalagi …. Ngapain takut ….
Angka Kemiskinan di Indonesia pada Maret 2010 telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33%) dibandingkan Maret tahun 2009 sebanyak 32,53 juta orang (14,15%). Itulah statement BPS yang belum lama ini direlease berbagai media.
Penduduk Miskin adalah mereka yang rata-rata pengeluaran per kapita per bulan-nya di bawah garis kemiskinan. Menurut BPS angka pengeluaran si miskin pada Maret 2010 adalah Rp 211.726 per kapita per bulan.
2 komponen garis kemiskinan yaitu GKM (Garis Kemiskinan Makanan) & GKNM (Garis Kemiskinan Non Makanan). GKM : Nilai kebutuhan Minimum Makanan yang diselaraskan dgn 2.100 Kilo Kalori per kapita per hari. GKNM : Kebutuhan Minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Lebih jauh, tercatat adanya 10 propinsi termiskin di negeri ini yaitu Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, Aceh, Bangka Belitung, Gorontalo dan Sumatera Selatan.
Kita hanya bisa manggut-manggut menilik angka pengeluaran si miskin Rp 211.726 per kapita per bulan. Untuk pahitnya, angka itu boleh jadi jauh di bawah lagi. Ada seorang teman yang mencoba menghitungnya. Percaya atau tidak angka rata-rata oengeluaran kelompok termiskin di negeri ini yang didapatnya melalui sampel acak di lapangan hanya pada kitaran Rp 50.000 per kapita per bulan. Sungguh fantastis. Lantas, apa yang bisa dimakan si miskin itu nanti selama 1 bulan penuh hanya dengan lembaran lusuh senilai LIMPUL? Jangan lupa bahwa angka kebergantungan hidup sangatlah tinggi di negeri ini. Hitung saja kebergantungan sejumlah orang dalam sebuah keluarga besar terhadap satu orang pencari nafkah andalan dalam keluarga besar itu. Maka kita akan menemukan betapa berjubelnya kaum miskin di negeri ini tak ubahnya kumpulan jutaan Sapi tengah merumput di padang rumput yang meranggas lantaran musim kemarau panjang. Sapi masih mending, karena bisa memamah apa saja sekenanya selain rumput. Tapi si miskin ini tak bisa seperti itu, sekalipun rumput gratis. Karena bagaimanapun juga mereka adalah manusia juga seperti kita ini. Tapi apa daya, karena buruknya kondisi perekonomian dalam negeri sekarang, maka mereka pun terpuruk menjadi miskin seperti itu . Mereka bukannya miskin karena Idiot, tapi memang tak ada lapangan kerja yang memadai untuk kaum miskin ini. Fakta tak terbantah dimana pun di negeri ini adalah bahwa tingkat kebergantungan hidup si miskin ini demikian tinggi terhadap pencari nafkah andalannya masing-masing
Maka mari kita sadari bersama, betapa angka pengangguran tersamar di negeri ini sangatlah tinggi. Apalagi kalau serempak dengan itu kita tilik pula GKNM atau Garis Kemiskinan Non Makanan terkait Perumahan, Sandang, Pendidikan dan Kesehatan. Jangankan SI MISKIN LIMPUL, SI MISKIN PNS, BURUH dan PEGAWAI RENDAHAN dan MENENGAH SWASTA sekalipun tak bakal sanggup memenuhi kebutuhan itu dalam situasi sekarang. Siapa di antara mereka itu yang sanggup kasi uang muka Rp 100 juta (belum lagi angsuran bulanannya nanti) untuk rumah Tipe 120? Yang sanggup membayar ratusan juta rupiah untuk uang masuk ke fakultas favorit di sebuah Universitas ternama seperti UI, ITB, Undip, ITS, Unair dsb? Yang sanggup membayar dokter yang bagus, obat yang patent dan rumahsakit yang sehat dan bersih? Sungguh NEHI, kecuali tentu mereka kalangan The Haves di puncak piramida pelapisan kaya-miskin di negeri inilah yang sanggup menembus itu semua dan samasekali bukan mereka yang telah disebut tadi. Oleh karena itu, jangan sekalipun mau terjebak angka kemiskinan itu dihitung hanya sekadar bahwa kemiskinan telah berkurang sekian persen. Itu justifikasi yang samasekali tak berdasar.
Pahit memang, tapi itulah ….
kita ternyata masih tetap semiskin dulu kawan …. Oleh karena itu mari kita diskusikan solusinya sebelum nasi benar-benar menjadi bubur.
Malang City, 7 September, 2010.
Oleh: Adelina Savitri Lubis
Jejaring sosial seperti Facebook (

Parlin menggerakkan hati para Facebooker (pengguna FB) untuk membantu Ester Jesicha (13), remaja tingting penderita kanker tulang ganas (Osteosarkoma) pada lutut kirinya. Rupiah bernilai belasan juta yang mengalir dari kantong-kantong para Facebooker menjadi modal perobatan demi menyembuhkan penyakit Jesicha. Melewati proses yang berliku, Parlin menyebut ini sebagai perjuangan cinta kasih. Seperti apa kisahnya? Berikut hasil wawancara Harian Analisa bersama Parlin Pakpahan, sang Penggerak Facebooker.
Analisa: Apa yang melatarbelakangi Pak Parlin untuk melakukannya?
Parlin Pakpahan: Saya tidak mengenal Jeshica sampai saya membaca sebuah berita di koran daerah mengenai penyakitnya. Saya masih ingat, saat itu, tanggal 29 Mei 2010. Seperti biasa, pagi-pagi saya bangun tidur kemudian membaca koran. Saat itu, saya hanya berfikir ingin membantu Jesicha. Saya niatkan diri untuk mendatangi rumahnya, menjenguk Jesicha. Sesampai di sana, sungguh miris melihat keadaan Jesicha. Saat itu yang terbersit dalam hati saya, hanya ingin menghentikan penderitaan Jessi kecil. Saya tak tahan!
Analisa: Mengapa?
Parlin Pakpahan: Saya sudah tak mau lagi mendengar kalimat ibunya Jesicha, bahwa dia baru belasan hari lalu menggunting sendiri
gumpalan daging yang menggelambir di benjolan bagian bawah tumor yang diderita Jesicha. Katanya ada sekitar dua kilogram daging plus
darah segar sebanyak 1 liter untuk bedah primitif itu. Oh, Tuhan, kemiskinan telah memaksa mundur bangsa ini ke zaman pra sejarah. Itu yang menghantam benak dan nurani saya ketika mengunjungi Jesicha pertama kali pada Sabtu 29 Mei dan kunjungan kedua pada Minggu 30 Mei. Semua cerita yang saya dapatkan dari kedua orang tua Jesicha, saya posting di wall FB saya. Sekian menit berikutnya, puluhan komentar pun menghiasi wall profile FB saya. Simpati, empati dan bahkan pertanyaan khusus melalui inbox (kotak masuk) di FB saya pun dilayangkan. Hemm, nyatanya masih ada cinta di bumi ini.
Analisa: Lalu penggalangan dana untuk Jesicha oleh para Facebooker itu bagaimana pula ceritanya, pak Parlin?
Parlin Pakpahan: Spontan saya mengajak para Facebooker agar mau membantu menyelamatkan Jesicha. Tanpa henti saya terus meng-update (memperbarui) status dan foto terkait perkembangan Jesicha, termasuk juga proses perjuangan agar si Jessi kecil ini dapat diobati. Melalui FB, saya informasikan rekening Dana Gotong Royong Kemanusiaan untuk Jesicha. Setidaknya ada sebanyak dua rekening BRI atas nama Renti Simorangkir (Ibunya Jesicha) dan rekening BCA atas nama Sherly S. Maulina (isteri saya). Postingan mengenai Jesicha di wall FB saya, ternyata

Analisa: Terlepas dari itu, apakah Pak Parlin juga melakukan upaya-upaya lain diluar penggalangan dana para Facebooker? Maksudnya, seperti melibatkan Pemerintah Daerah setempat melalui Kepala Desa misalnya?
Parlin Pakpahan: Semua kisah perjalanan dari awal, hingga saat ini sudah saya ungkapkan di wall FB saya. Tak ada yang dikurang-kurangi pun dilebih-lebihkan.
Analisa: Ya, seperti yang saya baca salah satu postingan Pak Parlin, dimana bapak menulis tentang pihak birokrat Kecamatan dan Kepala Desa sudah meminta kepada Bupati Taput untuk memberikan bantuan. Sayangnya, tulis bapak, Kepala Desa setempat mengatakan Jesicha bisa dibantu, bisa juga tidak. Kalaupun ada bantuan hanya ala kadarnya saja. Bagaimana pula itu Pak Parlin?
Parlin Pakpahan: Ya, seperti yang sudah saya ungkapkan di wall FB saya, itulah adanya yang terjadi. Mereka membisu. Padahal Jesicha harus segera dievakuasi ke Medan, apalagi mengingat tumor yang diidapnya akan semakin mengganas. Saya melihat telah terjadinya pergeseran nilai di masyarakat. Hal-hal serius seperti ini dianggap biasa saja oleh lingkungan setempat. Jesicha ini adalah puteri Tapanuli Utara, salah satu penerus generasi bangsa. Faktanya, Facebooker yang menolongnya. Facebooker yang boleh dibilang adalah orang-orang yang tak mengenal Jesicha. Mereka berempati dan hatinya tergerak untuk membantu si Jessi kecil ini. Ah, dunia memang gila.
Analisa: Kembali ke Jesicha, mengapa baru sekarang, setelah 16 bulan, setelah tumor itu semakin membesar dan membesar?
Parlin Pakpahan: Prosesnya memang terbilang panjang. Orang tua Jesicha bukanlah sosok yang bisa memahami hal-hal medis terkait penyakit anak pertama mereka ini. Sebagai orang tua mereka pun tak berdaya. Apalagi mereka tak memiliki biaya perobatan. Terhitung sejak Februari 2009, Jesicha mengalami demam dan segera dibawa ke RSU Swadana Tarutung. Dari sana Jesicha dirujuk ke RSUPH Adam Malik Medan. Pada April 2009, Jessicha pun dibawa ke RSUPH Adam Malik Medan, pihak rumah sakit menyarankan agar Jesicha diopname. Karena tak ada yang memandu, orang tua Jesicha membawanya kembali ke Tarutung. Sejak April-Agustus 2009, tak ada tindakan medis sedikitpun yang dilakukan kecuali penanganan tukang urut. Pada Agustus 2009, Jesicha dibawa ke RSU Husada Mangga Besar, lalu dirujuk ke Rumah Sakit St. Carolus. Saat itu, pihak rumah sakit sudah menegaskan, benjolan yang kian membesar itu merupakan Tumor dan pihak St. Carolus menyarankan agar kaki Jesicha diamputasi. Karena tak ada yang memandu, orang tua Jesicha malah membawa anaknya ini pulang ke rumah saudara. Eh, disana Jesicha malah menjalani pengobatan alernatif di Cisarua, Bogor selama sebulan penuh. Hasilnya tak menunjukkan kemajuan yang berarti. Pengobatan alternatif lainnya pun dijalani Jesicha kembali. Jesicha diberikan obat berupa rempah-rempah (herbal) dengan dosis mingguan, dimana biaya obat Rp. 700 ribu per minggu. Akhir September 2009, Jesicha pun dibawa pulang kembali ke Tarutung. Terhitung hingga Oktober 2009 – Mei 2010, tak ada tindakan medis yang dilakukan, selain melakukan bedah primitif yang dilakukan ibunya. Tumor di lutut Jesicha pun semakin membesar dan membesar. Inilah yang mendasari mengapa penanganan terhadap Jesicha baru dilakukan setelah berlangsung selama 16 bulan.
Analisa: Lalu Pak Parlin bagaimana kedepannya? Tentunya pasca amputasi yang dilakukan pada kaki Jesicha, apakah penggalangan dana ini tetap diteruskan atau bagaimana?
Parlin Pakpahan: Ya, apa yang dilakukan para Facebooker sekarang ini merupakan langkah awal penyelamatan Jesicha dan kita belum bisa memprediksi hasil kemotrapi yang dilakukan pada tahapan berikut pasca amputasi. Kita juga belum bisa memprediksi seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Termasuk juga memperhitungkan kaki palsu sebagai pengganti kaki yang diamputasi. Nah, apakah terus, atau berhenti di sini semua itu tergantung pribadi kita masing-masing. Ada banyak jutaan Jesicha di luar sana dan secara pribadi, saya tidak akan meninggalkan Jessi. Bagaimana dengan kalian?
Analisa: Harapan ke depannya Pak Parlin?
Pak Parlin: Saya berharap semua pihak dapat membantu Jesicha ini. Catatan yang utama adalah menghilangkan lilitan birokrasi yang tak

Source : http://www.analisadaily.co